Omnibus Law Perpajakan Bidik Pemain OTT, Ini Respons Google

Rahmad Fauzan
Senin, 10 Februari 2020 | 01:44 WIB
Kantor Google di Jakarta, Indonesia. JIBI/BISNIS/Syaiful Milah
Kantor Google di Jakarta, Indonesia. JIBI/BISNIS/Syaiful Milah
Bagikan

Bisnis, JAKARTA – Berselang beberapa hari setelah Rancangan Undang-Undang Omnibus Law yang mengatur secara terperinci mengenai aturan pengenaan pajak terhadap perusahaan digital diserahkan ke DPR RI untuk dibahas, Google selaku perusahaan over the top (OTT) menyatakan siap mengikuti aturan yang berlaku di Tanah Air.

"Google akan mematuhi undang-undang yang berlaku," ujar Head of Corporate Communications di Google Indonesia Jason Tedjasukmana kepada Bisnis, Minggu (9/2/2020).

Jason melanjutkan seiring dengan upaya Google memperluas operasi dan memberikan layanan terbaik di Indonesia, perusahaan memodifikasi tagihan dengan hanya menggunakan mata uang lokal untuk pelanggan produk iklan Google yang mendaftar dengan alamat penagihan di Indonesia.

Selain itu, layanan iklan yang disediakan oleh perusahaan akan dijual dan ditagih oleh kantor lokal Google di Indonesia.

"Perubahan ini merupakan langkah menuju model bisnis baru yang mendukung pertumbuhan bisnis kami di Indonesia," imbuhnya.

Bisnis juga telah menghubungi dua platform OTT lainnya, yaitu Facebook Indonesia dan Twitter untuk dimintai tanggapan terkait dengan rencana penerapan pajak oleh pemerintah di dalam draf Omnibus Law, tetapi kedua perusahaan tidak berkomentar ataupun memberikan respons.

Sementara itu, pemerintah saat ini dikatakan tengah memantau dinamika internasional terkait dengan penggagasan kriteria pengenaan pajak terhadap PPMSE. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Rofyanto Kurniawan mengatakan hal yang tengah dipantau pemerintah adalah penggagasan significant economic presence (SEP) sebagai kriteria pengenaan pajak oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

"OECD menggagas unified approach untuk menjadi konsensus pajak penghasilan untuk ekonomi digital yang penerapannya juga menjadikan SEP sebagai kriteria. Diharapkan konsensus tercapai pada 2020, kami memantau perkembangannya," ujar Rofyanto kepada Bisnis, akhir pekan lalu.

Adapun, jauh sebelum RUU Omnibus Law diserahkan ke DPR RI, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Rudiantara, pernah mengatakan platform digital akan dikenakan pajak sebagai kontribusi bagi Negara untuk mengembangkan ekosistem.

Sebelumnya, Rudiantara juga menyebut Google merupakan satu-satunya platform yang sudah membayar pajak korporasi di Indonesia sejak 2016, serta sudah melakukan collecting payment dari pelaku usaha Tanah Air yang menaruh iklan di YouTube dalam bentuk mata uang rupiah.

Meskipun demikian, pengimplementasian skema pengenaan pajak digital terhadap OTT dalam RUU Omnibus Law Perpajakan sebenarnya masih perlu dipertanyakan.

Di dalam rancangan peraturan itu dijelaskan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) dan penyelenggara PMSE (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap (BUT) dan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh).

Ketentuan kehadiran ekonomi signifikan ditentukan atas omzet konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah tertentu; penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu; dan/atau jumlah pengguna aktif media digital. Namun, sampai dengan saat ini baik perusahaan OTT maupun para pelaku bisnis e-commerce masih belum mau menyerahkan data-data yang dimiliki ke pemerintah.

Adapun, di dalam RUU Omnibus Law Perpajakan pelaku kegiatan PMSE disebutkan akan dikenai sanksi administratif serta pemutusan akses jika tidak melaksanakan kewajiban untuk memungut, menyetorkan dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai, dan membayar dan melaporkan PPH atau pajak transaksi elektronik.

Permintaan pemutusan akses dapat disampaikan oleh Menteri Keuangan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika (Menkominfo) yang kemudian berwenang untuk melakukan pemutusan akses.

Hingga berita ini ditulis, pihak Kemenkominfo tidak memberikan respons atas pertanyaan yang diajukan Bisnis terkait dengan hal tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Rahmad Fauzan
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper