Mengawal Talenta-Talenta Digital dari Generasi Millenial

MediaDigital
Senin, 29 Oktober 2018 | 13:29 WIB
Empat CEO Unicorn Indonesia bersama Menteri Kominfo Rudiantara dan Kepala BKPM Thomas Lembong (foto: FBI)
Empat CEO Unicorn Indonesia bersama Menteri Kominfo Rudiantara dan Kepala BKPM Thomas Lembong (foto: FBI)
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Berkaitan atau tidak, banyak proyeksi dan prediksi penting tentang kelangsungan kita sebagai bangsa yang merujuk kepada tahun-tahun di sekitar tahun 2030.

Pertama, bertepatan dengan peringatan seratus tahun Sumpah Pemuda pada tahun 2028 nanti, kita akan memasuki sebuah lansekap demografi yang menjanjikan.

Tahun 2028-2030 diproyeksikan merupakan puncak situasi langka kependudukan yang disebut dengan “bonus demografi”. Bonus demografi ini adalah kondisi di mana rasio jumlah angkatan kerja berada pada kisaran dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah usia non-produktif. Pada tahun-tahun tersebut rasio ketergantungan mencapai 44 persen, atau setiap 100 orang produktif menanggung 44 orang non-produktif.

Kebetulan bahwa generasi usia produktif yang berada dalam puncak demografi tersebut adalah generasi millenial atau generasi “digital natives”. Mereka yang menanggung penduduk usia non-produktif pada tahun 2030-an adalah generasi yang umumnya melek, atau bahkan tergantung pada, teknologi informasi dan komunikasi.

Kedua, PricewaterhouseCoopers, pada laporan yang disampaikan pada bulan Februari 2017, memproyeksikan bahwa pada tahun 2030 Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-5 di dunia berdasarkan indikator Gross Domestic Product (GDP) dalam Purchasing Power Parity. Pada tahun 2030 tersebut, GDP Indonesia diproyeksikan meningkat dua setengah kali lipat menjadi 5,4 triliun dollar AS dan melompat melampaui negara-negara dengan ekonomi raksasa seperti Rusia, Jerman, Brasil, dan lain-lain.

Bahkan pada tahun 2050, peringkatnya akan melonjak drastis menjadi urutan ke-4 setelah Tiongkok, Amerika Serikat, dan India. Pada tahun 2050 tersebut, negara-negara besar yang selama ini GDP-nya di atas kita, seperti Jepang, Jerman, Perancis, Inggris, Brasil, Rusia, dan lain-lainnya, akan bisa kita lampaui dengan GDP diproyeksikan sebesar 10,5 triliun dollar Amerika.

Ketiga, konsumen kelas menengah kita juga terus tumbuh. Menurut laporan The McKinsey Global Insitute yang bertajuk The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia's Potential, saat ini kita memiliki 45 juta jiwa konsumen kelas menengah. Pada tahun 2020, jumlahnya meningkat dua kali lipat menjadi 85 juta jiwa. Sedangkan pada tahun 2030, jumlahnya diproyeksikan akan terus membengkak menjadi 135 juta jiwa, dan untuk pertama kalinya akan melewati konsumen kelas bawah yang berjumlah 110 juta jiwa.

Kelas menengah merupakan kategori penduduk dengan pendapatan per kapita lebih besar atau sama dengan 3.600 dollar AS per tahun (dalam Purchasing Power Parity pada nilai tukar 2005). Proyeksi pertumbuhan kelas menengah yang cukup signifikan tersebut diprediksi mampu mendorong akselerasi perekonomian domestik, sehingga Indonesia diproyeksikan akan menempati posisi tujuh besar ekonomi terkuat dunia pada 2030 mendatang.

Keempat, peta jalan “Making Indonesia 4.0” yang dicanangkan Presiden Joko Widodo juga merujuk pada tahun 2030 tersebut. Dengan “Making Indonesia 4.0”, Indonesia berharap dapat mencapai 10 besar ekonomi global pada tahun 2030 melalui peningkatan angka ekspor netto yang diusahakan dikembalikan pada angka 10 persen dari Produk Domestik Bruto.

Transformasi Ketenagakerjaan

Semua proyeksi itu indah belaka. Namun akan tinggal menjadi proyeksi jika kita gagal menyiapkan semua prasyarat yang diperlukan. Salah satu prasyarat terpenting yang diperlukan, adalah kebutuhan akan sumber daya manusia (SDM) yang sesuai dengan kebutuhan era digitalisasi ini.

Laporan terbaru World Economic Forum (WEF) yang bertajuk “The Future of Jobs Report 2018” menggambarkan transformasi besar-besaran pasar tenaga kerja global akibat terobosan teknologi yang berlangsung begitu cepat. Tugas-tugas pekerjaan yang tadinya dilakukan oleh manusia mulai diambil alih oleh mesin dan algoritma. Mulai muncul nomenklatur lapangan kerja baru seperti Data Analysts and Scientists, Software and Applications Developers, Ecommerce and Social Media Specialists, AI and Machine Learning Specialists, Big Data Specialists, Process Automation Experts, Information Security Analysts, User Experience and Human-Machine Interaction Designers, Robotics Engineers, dan Blockchain Specialist.

Transformasi ini, jika dikelola dengan bijak, bisa menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru yang lebih baik dan peningkatan kualitas hidup untuk semua. Namun jika dikelola dengan buruk, justru dapat menimbulkan risiko pelebaran kesenjangan keterampilan, ketimpangan yang lebih besar, dan polarisasi yang lebih tajam.

Ketika Revolusi Industri Keempat terbentang, perusahaan akan berusaha untuk memanfaatkan teknologi baru untuk mencapai tingkat efisiensi produksi dan konsumsi yang lebih tinggi, ekspansi ke pasar baru, dan bersaing melalui produk baru untuk konsumen global yang dihuni oleh generasi digital native.

Laporan ini menyampaikan bahwa karena transformasi tenaga kerja berlangsung cepat, jendela peluang untuk manajemen proaktif atas perubahan ini akan cepat tertutup kembali. Kalangan bisnis, pemerintah, dan pekerja harus secara proaktif merencanakan dan mengimplementasikan visi baru untuk pasar tenaga kerja global.

Berbagai pemangku kepentingan harus menetapkan strategi dan prioritas. Bagi pemerintah, ada kebutuhan mendesak mengatasi dampak teknologi baru di pasar tenaga kerja melalui revisi kebijakan pendidikan yang bertujuan dengan cepat meningkatkan tingkat pendidikan dan keterampilan individu dari segala usia, khususnya yang berkaitan dengan STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika) dan soft skill non-kognitif.

Peningkatan dalam pendidikan dan ketentuan keterampilan harus diimbangi dengan upaya-upaya di sisi permintaan. Pemerintah harus membantu merangsang penciptaan lapangan pekerjaan melalui penggelontoran investasi publik, serta dengan memanfaatkan investasi swasta melalui mekanisme blended investment atau dengan jaminan pemerintah.

Shifting Peran

Semua proyeksi yang cerah tersebut membutuhkan kecerdikan kita dalam menguasai inovasi untuk memenangi ekonomi digital. Pemerintah dalam hal ini menjalankan peran sebagai fasilitator dan akselerator, bukan lagi berkutat pada tugas-tugas sebagai regulator.

Dalam membangun ekonomi digital, pemerintah, dalam hal ini Kemominfo, juga telah menyesuaikan dengan gaya yang pas untuk zaman sekarang ini. Kemkominfo telah “mendisrupsi diri” dengan tidak lagi memainkan peran hanya sekadar menjadi regulator yang paling menentukan segala sesuatunya, namun telah banyak melakukan shifting dengan memainkan juga peran sebagai fasilitator dan akselerator sekaligus.

Saat ini, sebagai akselerator, pemerintah melalui Kemkominfo juga sedang menggelar program pendidikan tanpa gelar bertajuk 'Digital Talent Scholarship'. Program ini berbentuk beasiswa pelatihan intensif untuk menyiapkan sumber daya manusia dalam mendukung transformasi digital di Indonesia menuju Industri 4.0 serta peningkatan ekonomi digital. Diharapkan, setelah mendapat pelatihan, peserta akan memiliki keterampilan untuk menjadi teknisi yang dibutuhkan perusahaan teknologi. Program ini memang tidak berintensi untuk menciptakan engineer, melainkan teknisi yang siap bekerja langsung ke dunia digital.

Peserta yang dilibatkan dalam program ini adalah warga negara Indonesia dengan usia maksimal 29 tahun untuk lulusan D3 dan S1 serta SMK Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).  Adapun untuk ASN/PNS dan pelaku industri dipersyaratkan berusia maksimal 33 tahun. Pada tahun 2019 nanti, program ini ditargetkan akan menjangkau 20.000 peserta di seluruh Indonesia. Kisaran usia pesertanya pun juga akan diturunkan agar bisa menjangkau bakat-bakat yang benar-benar muda.

Untuk angkatan pertama ini, Kemkominfo menjalin kerja sama dengan Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia dalam bentuk pelatihan bidang Cybersecurity dan Cloud Computing, dengan Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember untuk bidang Big Data dan Artificial Intelligence, serta dengan Universitas Padjajaran untuk pelatihan Digital Business.

Ekonomi digital Indonesia yang telah mulai terbentuk dengan lahirnya ekosistem yang umumnya digawangi oleh generasi millenial menunjukkan kita berada dalam jalur yang sudah tepat. Empat unicorn Indonesia, yaitu Go-jek, Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka, dipimpin oleh anak-anak bangsa yang masih muda, rata-rata baru berumur 30-an tahun. Pada usia tersebut, saat ini mereka sudah masuk dalam deretan 150 besar orang terkaya di Indonesia, menurut catatan Globe Asia.

Fenomena itu menunjukkan bahwa masa muda adalah masa yang paling subur bagi tumbuhnya inovasi. Pemerintah harus menggelar karpet merah dan mengawal majunya angkatan kerja millenial-digital. Semoga 20.000 orang Digital Talent yang ditempa tahun 2019 tersebut bisa menjadi awal dan menginspirasi semua pemangku kepentingan lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : MediaDigital
Editor : Sutarno
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper