Keputusan Arviyan Arifin dan jajaran direksi menyelamatkan perusahaan, dengan tetap menyejahterakan karyawan di saat krisis membuahkan hasil. Di balik keputusan sulit dan dilematis itu karyawan Bank Muamalat terempati dan termotivasi dalam bekerja. Apa kiat bankir yang pernah belajar syariah ke Malaysia ini dalam memajukan dan mempertahankan bank syariah pertama di Indonesia tersebut? Berikut wawancara Bisnis dengannya baru-baru ini :
Bisa diceritakan perjalanan karier Anda di Muamalat?
Di awal kesempatan berkarier ini, saya sempat dikirim untuk belajar syariah ke Malaysia. Di Indonesia belum ada tempat belajarnya karena Malaysia lebih dulu 10 tahun dari Indonesia.
Setelah berkarier 7 tahun pada 1999, saya ditunjuk di jajaran direksi. Direktur bisnis bank muamalat. Saat itu sedang krisis, banyak bank yang ditutup, banyak bank yang direkap. Berapa ratus bank yang tutup, dibantu rekap, hanya sedikit yang tanpa dibantu rekap dan tetap hidup, salah satunya Bank Muamalat. Kemudian pada 2009, saya diamanahkan menjadi dirut di bank ini.
Ada masa yang berkesan sepanjang karier Anda?
Di jajaran direksi, kami pernah dihadapkan pada masa krisis. NPF kami saat itu 60%, setiap bulan rugi Rp2 miliar, kantor cabang terbatas, modal tinggal sepertiga, iklim bisnis belum baik karena pengaruh situasi politik dan ekonomi. Banyak demo, dolar fluktuasi, reformasi saat itu hingga 2001.
Kemudian pergantian presiden. Tidak karu-karuan saat itu. Nah itu, masa-masa sulit. Alhamdulillah bisa lolos karena kami melakukan efisiensi dalam segala hal mulai dari biaya yang tidak berhubungan dengan transaksi perbankan dan layanan.
Keputusan yang Anda ambil?
Satu hal yang kami lakukan adalah pengurangan gaji karyawan. Malah sebaliknya, saya mengambil keputusan yang cukup berat saat itu namun ada kesempatan yang baik untuk memberikan motivasi dan semangat kepada karyawan.
Direksi memutuskan, gaji karyawan diperbaiki supaya mereka bisa hidup dan tetap bekerja secara maksimal. Gaji direksi malah diturunkan, turun 25% dibandingkan dengan direksi sebelumnya. Gaji karyawan dinaikkan 20% supaya bisa bertahan karena inflasi waktu itu. Keputusan yang agak embivalen, antara menyelamatkan perusahaan dan tetap menyejahterakan karyawan. Alhamdulillah spirit karyawan bertambah.
Sampai terjadi pengurangan pegawai?
Tidak. Malah kenaikan gaji. Efisiensi dilakukan pada hal-hal lain, seperti penutupan aula atau ruangan yang jarang terpakai, pos makan siang direksi yang dibayar kantor ditiadakan, mobil dinas direksi kelasnya diturunkan, pemakaian kertas dihemat. Yang penting adalah menunjukkan semangat efisiensi.
Itu masa sulit 1999. Setelah itu kami perbaiki, restrukturisasi, lakukan upaya kreatif, dan memperkuat modal. Kami ajukan kepada pemegang saham, yakni para pendiri bahwa kami ingin tambah modal karena kalau tidak ditambah, kelas bank ini akan turun menjadi selevel BPR.
Lalu?
Kami minta pemegang saham untuk tambah modal, kebanyakan mereka adalah pengusaha muslim. Kondisinya juga sulit, bagaimana mau tambah modal jika mereka sudah repot dengan urusannya sendiri. Akhirnya kami minta teman dari Timur Tengah, yaitu Islamic Development Bank (IDB). Pada 1999, IDB masuk sebagai share holder Bank Muamalat karena ada campur tangan pak Habibie pada saat itu, kemudian Hamzah Haz sebagai wapres, Adi Sasono sebagai Menteri UKM yang mendorong IDB masuk.
Setelah IDB masuk baru kami bisa bernapas. Artinya, modal kita sudah cukup, bank ini diperbaiki, restrukturisasi. Kami bentuk tim restrukturisasi yang membenahi aset, kredit yang bermasalah, tidak produktif dijual, gedung dan kantor diproduktifkan. Setelah NPF membaik, bank ini terus bergulir dan tumbuh semakin baik.
Hasilnya?
Dengan IDB masuk, kepercayaan masyarakat meningkat dan bank ini makin besar. Pembenahannya selama 10 tahun sampai 2009. Pada 2008 kami kena krisis lagi, subprime mortgage dan kena dampaknya. Saya sebagai pelaku merasakan kesulitan pada waktu itu, likuiditas ketat, nilai tukar dolar tinggi, bursa sempat tutup karena indeks jatuh. Kemudian 2009 ditunjuk sebagai dirut jadi saya mengalami dua kali penunjukan di masa krisis yang tidak separah 1999.
Ketika ditunjuk sebagai dirut 2009, prioritas pembenahan seperti apa?
Kondisinya berbeda dengan 1999 karena saat itu belum ada bank syariah. Transformasi saat itu hanya berhubungan dengan kami sendiri, tidak ada pesaing. Pada 2008, bank syariah bukan hanya Bank Muamalat, mau tidak mau kami harus lakukan dua hal, yaitu membenahi struktur sendiri yang terkena krisis, dan tetap bisa berkompetisi dengan bank syariah lain dalam segala hal. Kami pun mengadakan program transformasi pada 2009 awal.
Bagaimana prosesnya?
Transformasi dalam beberapa tahapan, seperti perkuat fondasi dulu, perkuat struktur organisasi, infrastruktur berupa IT, jaringan kantor, infrastruktur penunjang seperti ATM, internet banking, dan electronic channel, semuanya diperbaiki. Setelah itu relaunch produk, perbaiki fitur, transformasi produk supaya bisa bersaing dengan bank lain. Kami juga lakukan transformasi pelayanan supaya bisa setara dengan bank konvensional.
Itulah program transformasi utama yang kami lakukan. Jaringan juga ditambah, tidak hanya jumlah tetapi juga kualitas ditingkatkan. Terakhir yang dilakukan adalah perubahan logo pada 2012.
Tujuannya menunjukkan kepada masyarakat kalau Bank Muamalat sudah berubah, menuju ke arah yang modern. Bukan lagi bank eksklusif, kami ingin menjadi bank yang bisa melayani siapa pun. Siapa pun bisa berkembang bersama Bank Muamalat.
Bagaimana strateginya?
Kami masuk ke market itu, harus masuk ke pasar yang selama ini dikuasai pasar konvensional, yakni national market. Untuk bisa masuk ke pasar itu, kami harus bersaing dengan mereka, pelayanannya sama, produknya sama, jaringannya sama. Jika sudah menyamai mereka, kami katakan bahwa Bank Muamalat punya kelebihan, yakni syariah.
Jadi, jualan kami tidak lagi soal halal-haram. Yang kami jual adalah bahwa kami itu sama dengan bank konvensional dalam hal layanan, apa yang diinginkan nasabah bisa diakomodasi oleh Bank Muamalat. Otomatis di situlah kelebihannya karena ini sesuai dengan keyakinan nasabah, sesuai syariah.
Bagaimana Anda melihat kompetisi saat ini?
Saya melihat bank syariah yang ada sebagai partner kami karena perbankan syariah masih kecil. Mereka adalah teman seperjuangan dalam mengembangkan perbankan syariah. Saingan kami adalah bank konvensional yang selama ini 50% pangsa pasarnya di sana. Hasil transformasi yang dilakukan pada 2009 terlihat pada peningkatan aset. Sejak berdiri pada 1992 hingga 2008 total aset mencapai Rp12 triliun selama 16 tahun. Hingga 2012 lalu, aset Bank Muamalat mencapai Rp45 triliun atau naik Rp33 triliun selama 4 tahun.
Bank Muamalat termasuk salah satu bank yang survive tanpa dibantu saat krisis keuangan 1998, apa kekuatannya?
Pertama, sistemya sendiri sudah sangat tidak terkena krisis. Bank syariah ini tidak mengenal krisis karena tidak mengenal negative spread. Bank konvensional beroperasi dengan cost flush (or plus) ada deposito cost-nya fixed ditambah marginnya, itu yang dijual ke masyarakat. Kalau kami kan revenue sharing, berapa pendapatan, itu yang disajikan kepada nasabah. Cost plus ini bisa negatif. Saat likuditas ketat, cost ini naik, ada bunga deposito pada masa itu 60%, mereka tidak bisa sesuaikan menjadi 65%. Berapa revenue, itu yang kami bagi ke deposan. Kami bicara revenue yang diterima.
Bagaimana prospek bank syariah?
Saya berkeyakinan bank syariah adalah solusi. Ditunjang dengan pangsa pasar bank syariah yang mencapai 5%, masyarakat kian mengenal bank syariah.
BI mengkritik produk perbankan syariah tidak variatif. Tanggapan Anda?
Saya agak kurang sependapat karena sejauh ini kami tetap lakukan pengembangan produk dalam rangka memenuhi kebutuhan nasabah dan bisa berkompetisi dengan perbankan konvensional. Alhamdulillah, produk yang kami miliki berupa jasa, funding, dan pembiayaan sudah memenuhi kebutuhan masyarakat. Malah bank syariah lebih unggul karena punya produk ijarah seperti leasing, tidak ada pada bank konvensional.
Kemudian, ada produk gadai yang tidak boleh dilakukan bank konvensional. Artinya, jika membahas variasi produk, bank syariah lebih unggul dibandingkan dengan bank konvensional. Cuma memang bagaimana produk-produk itu disosialisasikan ke masyarakat dan mengaksesnya.
Apa tanggapan Anda tentang penetapan finance to value (FTV) untuk perbankan syariah?
Saya berpendapat aturan itu positif karena kami bisa menyeleksi nasabah yang berkualitas. Jangan sampai nasabah yang tidak berkualitas masuk ke bank syariah. FTV-nya rendah meskipun kemampuan nasabah terbatas, ada kekhawatiran terjadi kredit macet di kemudian hari.Aturan ini supaya bank lebih berhati-hati.
Bagaimana rencana kerja Bank Muamalat selama 2013?
Rencananya kami akan menambah modal melalui listing di bursa dan rights issue. Rencananya kami ingin cari Rp1,5 triliun-Rp2,5 triliun melalui listing dan rights issue. Di anak usaha PT Al Ijarah Finance Indonesia, kami ada rencana memperbesar kepemilikan saham yang kini sebesar 33%.
Kami berharap Al Ijarah sebagai tangan kami untuk pembiayaan otomotif, ini masih dikaji. Kami ingin menambah hingga menjadi pemegang saham pengendali, minimal 51%. Kami juga memiliki saham di PT Asuransi Takaful Indonesia, bukan saham minoritas. Kami masih melihat untuk menambahkan kepemilikan saham guna meningkatkan sinergi bisnis.
Bagaimana cara Anda memotivasi karyawan bekerja penuh semangat?
Memberitahu mereka jika kita berada di perahu yang sama, memiliki tujuan yang tidak gampang, menemui kendala, gangguan. Kita harus kompak, bersama-sama mencapai tujuan. Mimpi kami adalah menjadi bank syariah terbesar di Indonesia. Ada reward dan penalty kepada karyawan.
Seperti apa gaya kepemimpinan yang Anda anut?
Saya menghindari gaya kepemimpinan yang otoriter, saya menganut kepemimpinan egaliter dan persuasif.
Ada obsesi yang masih ingin dikejar?
Obsesi saya hanya satu, yakni bagaimana bermanfaat bagi banyak orang. Saya bekerja di bank, saya membantu banyak pengusaha, pelaku usaha kecil, menengah. Mudah-mudahan Tuhan beri kesempatan saya bisa memberikan banyak manfaat kepada orang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel