Saat usia 26 tahun, Robbyanto Budiman mulai menggeluti bisnis otomotif setelah sempat menolak ajakan sang ayah untuk mengurusi salah satu perusahaan yang didirikannya PT Union Motor pada 1972. Alasannya karena sudah bekerja di Citibank dan tidak punya pengalaman kerja di bisnis otomotif.
Namun, berkat semangat belajar dan kerja keras, dia mampu membesarkan diler yang awalnya hanya memiliki 30 karyawan itu menjadi grup perusahaan PT Wahanaartha yang paling lengkap jasanya, mulai dari distribusi, ritel, pembiayaan sepeda motor, asuransi, rental, sepeda motor bekas, logistik, hingga oli.
Kepada Bisnis sosok eksekutif ini menuturkan perjalanan perusahaan, prinsip mengelola karyawan, stategi ekspansi, hingga obsesinya. Berikut petikannya:
Gambaran bisnis sekarang bagaimana menjelang 40 tahun?
Sejak dibangun pada 6 Agustus 1972 dengan sekarang berbeda. Sekarang kami adalah perusahaan yang paling lengkap jasanya. Dari distribusi, ritel, pembiayaan sepeda motor, asuransi, rental, sepeda motor bekas, logistik, hingga oli.
Ini adalah perjalanan yang kami tempuh. Pangsa pasar menunjukkan Honda adalah merek yang paling disukai. Orang sekarang harus dijelaskan bagaimana fiturnya. Bagaimana pelayanannya, tingkat kepuasan pelanggan bagaimana, harus diperbaiki terus. Ini yang harus diperbaiki selalu. Bagi saya yang membedakan perusahaan itu adalah karakter atau budayanya.
Bagaimana warna perusahaan?
Kami selalu melibatkan pemilik saham sehingga ketika merekrut orang, kami menanyakan warna seperti apa yang diinginkan. Misalnya adalah kepercayaan, integritas, pelanggan yang utama. Kami juga memberikan rangking berbasiskan pelbagai faktor yang paling penting. Kami tidak mungkin bertahan selama 40 tahun, kalau tidak ada yang membiayai: konsumen kami. Terutama pada sepeda motor, 30% pembeli kami adalah repeat customer. Kalau mereka tak puas, tak mungkin lagi mereka kembali lagi pada kami. Jadi warna ini yang harus diterapkan.
Apa kondisi tersulit saat memimpin perusahaan?
Orang yang kami percayai melakukan tindakan tidak terpuji. Dia menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan. Setiap hari juga ada masalah, tinggal bagaimana dengan solusinya. Yang penting adalah best effort, kalau dilaksanakan walaupun hasil tidak sesuai dengan harapan, tak perlu disesali. Tetapi yang paling saya kecewa adalah orang yang dengan mudah menyalahgunakan kepercayaan itu. Semua karyawan mendapatkan implikasi negatif.
Apa yang dilakukan kemudian?
Kami lakukan adalah introspeksi. Mungkin ada kelemahan-kelemahan prosedural, organisasi. Lemah dari ketidaktelitian dan pengawasan. Seharusnya ada deteksi dari perubahan gaya hidup, ini semacam alert warning. Ada teman-teman baiknya yang bisa memberikan masukan semacam itu.
Apakah ini menjadi keputusan tersulit karena dia adalah orang kepercayaan sebelumnya?
Kalau mau mengembangkan usaha, pasti kami akan mempelajari semuanya. Prospek seperti apa maupun pembiayaannya bagaimana. Terus siapa yang menerapkan dalam implementasi? Orang.Oleh karena itu, yang harus dicari adalah orang yang tepat. Inilah yang diberikan kepercayaan yang harus dijawab dengan tanggung jawab. Kalau hasilnya berbeda, itu tak masalah, karena yang paling penting adalah best effort.
Jangan sampai orang yang diberikan kepercayaan itu menyalahgunakan kepercayaan dengan melakukan tindakan tak terpuji dan mencelakakan orang lain. Saya bersandar pada kepercayaan pada orang-orang yang saya percayai. Yah letnan-letnan saya.
Apakah pernah memutuskan sesuatu yang keliru?
Sering sekali. Namun tidak ada yang patut disesali, tapi hidup ini harus maju ke depan. Yang penting kami belajar dari pengalaman itu dan terus maju.
Bagaimana dengan keputusan yang monumental?
Kami mungkin organisasi yang konservatif, misalnya ingin masuk bisnis apa pun itu, kami harus nyaman dengan bisnis itu sendiri. Misalnya ada pasar, ada uang, orang yang menjalankan itu ada, ketika bermitra juga nyaman. Jadi, kami tidak pernah membuat satu lompatan di luar jalur. Kalau tidak mampu, tidak usah ikut-ikutan. Kalau yang bisa dilakukan profesional, just let the proffesionals do it.
Apakah ketika Anda masuk perusahaan itu sudah mapan?
Saya masuk pada 1993. Kebanyakan perusahaan di Astra, orangnya lama-lama, termasuk para distributor. Tentunya tak mudah bagi orang yang tak punya pengalaman, berdagang sepeda motor, dan berhadapan dengan kultur orang-orang lebih senior. Tentu pemimpin lah yang membawa warna organisasi. Tetapi, saya juga diuntungkan oleh internal Wahana saat itu menerima dengan baik.
Saya juga didukung oleh Astra, ini jauh lebih mudah karena manajamen dan organisasi itu sudah diakui banyak orang, sudah mapan. Dukungan itu memungkinkan kami melakukan sesuatu. Resistensinya kurang.
Kalau kita datang ke suatu organisasi yang perubahannya kurang, jangankan mengganti sistem, mau diganti bosnya saja, anak buahnya tidak mau. Jadi, ketika saya masuk memang semuanya lancar-lancar saja.
Bagaimana saat krisis 1998?
Kami menjual 120.000 unit sepeda motor per tahun pada 1997, pada 1998 hanya menjual 15.000 unit. Pesan dari Mohammad Erick Tohir saat itu adalah tidak boleh merumahkan karyawan. Jadi kami tidak melakukannya, walaupun ada karyawan yang keluar karena melihat masa depannya tak ada. Pada 1999, hanya naik 5.000 menjadi 20.000, sedangkan 2000 adalah 50.000 unit. Baru pada 2002-2003, sekitar 120.000 kembali lagi.
Kami juga membentuk WOM Finance pada 1997, tetapi skalanya masih kecil. Kami berbicara pada bank pemberi dananya sehingga dilakukan restrukturisasi, sehingga WOM adalah perusahaan pembiayaan yang selamat waktu krisis. Ini situasi sulit yang harus dihadapi.
Kami masih memiliki keuntungan tahun-tahun sebelumnya sehingga lay off tidak dilakukan. Pemilik saham sepakat tidak mengambil deviden dan membiayai perusahaan. Yang paling penting adalah bagaimana perusahaan bisa bertahan.
Bagaimana mengatasi karyawan yang dianggap bermasalah?
Yang paling sulit adalah man management. Kami membuat profil karyawan dengan matriks. Orang yang punya potensi tinggi, biasaya tak bisa diatur. Tidak apa-apa. Walaupun tak bisa diatur, tetapi performanya tinggi, yang penting adalah GCG.
Kami memanggil konsultan luar untuk penilaian. Selama itu tidak bisa ditolerir, itu tak masalah. Tetapi kami pasti akan keluarkan, kalau dia main uang, walaupun potensi maupun performanya bagus. Kami tidak melakukan like and dislike, karyawan saya ada 1.600 orang.
Kami menerapkan merrit system, kamu mampu kamu dihargai, kamu tidak mampu, kamu diam saja dan akhirnya ditinggalkan orang. Tidak melihat suku, agama, perempuan atau laki-laki. Saya juga diuntungkan karena pemilik saham memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Kami juga berusaha se-egaliter mungkin. Lihat baju saya dengan supir saya sama.
Saya bisa bercanda di level pelaksana, mereka lebih untung karena juga mendapatkan celana. Jadi there’s no difference.
Apa yang ingin disampaikan ke karyawan dengan sikap egaliter?
Tidak ada rule of thumb. Tidak ada yang benar dan salah. Ini namanya budaya perusahaan. Kami mau yang simpel saja dan dagang sepeda motor itu akan lebih baik bila diterangkan secara personal, dibandingkan dengan korporat. Kultur perusahaan yang egaliter dan akrab akan mendukung misi seperti itu.
Kami juga memiliki meal allowance sama, siapa yang bilang dia lebih banyak membutuhkan gizi. Jadi, tidak ada menu khusus bagi direksi. Walaupun ini tidak memuaskan semua orang. Komplain dari mutu katering, juga sering kami dengarkan.
Bagaimana Anda menilai kepemimpinan sendiri?
Kalau Anda puas, that’s it. Tidak pernah kenal puas, bukan dari materi. Kalau sudah bagus dan puas, ada yang lebih bagus yang bisa ditawarkan. Spiritnya seperti itu. Kami berkompetisi dengan merek lainnya, kami bisa, memang dia tak bisa?
Aksi ke depan perusahaan?
Banyak yang bisa ditawarkan oleh perusahaan, baik hulu dan hilir. Perbaikan kualitas. Kami juga mengembangkan bisnis ke hospitality, dan berkongsi dengan ahlinya, dengan operator Santika. Ada lahan di Bogor, kegedean untuk show room, sehingga ada hotel satu. Terus pertanyaannya, mengapa cuma satu? Saya juga waktu kecil bercita-cita menjadi arsitek. Ekonomi di Indonesia juga lagi naik, sehingga kami juga akan membangun di Jember, Pekalongan, ini terkait dengan potensi daerah.
Apakah yang Anda dapatkan ini sudah dianggap sukses?
Saya mensyukurinya, terutama kesehatan. Uang atau aset, itu tidak ada apa-apanya jika tak sehat. Saya baru saja menyelesaikan half marathon, itu kepuasan pribadi.
Siapa yang menginspirasi Anda?
Senior-senior saya di Astra. Teddy Rachmat, William Soeryadjaya, Priyono Sugiarto, jadi semua yang baik-baik dari mereka saya adopsi. Setiap orang memiliki virtue tersendiri. Bukan berarti yang di luar Astra tidak hebat, namun karena saya bekerja lebih banyak di sana sehingga saya lebih tahu.
Bagaimana dengan upaya kaderisasi?
Usia sekitar 35-40 tahun lah yang nanti diberikan penambahan tanggung jawab ke depannya. Selalu begitu. Managing Director di anak-anak perusahaan, sekarang dahulunya adalah General Manager level. Kalau mereka bagus, kami akan mengangkatnya di induk perusahaan.
Kami memiliki beberapa kultur perusahaan, misalnya customer first, honesty and integrity, team work. Selain itu ada orientasi karyawan baru, dan langsung saya yang memberikan itu. Kami ingin mengenalkan perusahaan sehingga dia bangga kepada perusahaannya.
Bagaimana membagi kerja dengan keluarga?
Senin-Jumat, saya bekerja. Sabtu adalah mainan untuk saya sendiri, golf, lari, dan bersepeda. Minggu kebanyakan dengan keluarga. Saya menerapkan pesan kepada anak-anak untuk menggantungkan sesuatu yang belum, tidak ada sukses yang jatuh dari langit. Saya bilang kepada mereka, kamu boleh tidak pintar.
Tetapi saya tidak pernah melihat orang yang tidak kerja keras, itu akan sukses. Hardwork is everything. Kamu harus work hard. Saya selalu bilang kepada mereka malas adalah sumber kemiskinan, kamu boleh tak pintar, tetapi jangan malas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel