Abiprayadi Rianto: Filosofi lebah madu

News Editor
Rabu, 23 Mei 2012 | 09:33 WIB
Bagikan

Dalam industri manajemen investasi, Abiprayadi Rianto adalah nama yang tak asing lagi. Alumnus Fakultas Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada (UGM) ini terjun di bisnis ini sejak 1990.

Abiprayadi terpanggil untuk turut mengembangkan perusahaan nasional di bawah Grup Bank Mandiri setelah berkiprah di sejumlah perusahaan manajemen investasi asing. Di bawah kepemimpinannya, PT Man­diri Manajemen Investasi tidak hanya sukses melewati be­­­­­berapa krisis, tetapi juga berhasil menjadikan perusahaan ter­sebut terbesar ketiga di Indonesia.

 

Dalam sebuah wawancara dengan Bisnis, pria yang punya hobi memotret ini men­ceritakan perjalanan kariernya, gaya kepemimpinan, kunci sukses membawa perusahaan, hingga soal obsesi. Petikannya: 

Bagaimana awal Anda di industri ini?

Saya masuk industri ini sejak 1990.Latar belakang saya sebenarnya teknik sipil di UGM. Saya bekerja di bidang teknik sipil 5 tahun. Saya lihat teman-teman senior 10 - 11 tahun ikut terlibat di Cengkareng Airport Fase II. Saya pikir kok masih di lapangan ya?

 

Saya harus sekolah lagi, dan ambil MBA di Institut Perkembangan Ma­­na­jemen Indonesia (IPMI) yang notabene sekolah bisnis. Saya jadi tahu akuntansi, analisis bisnis, dan ilmu lain yang luar biasa banyak. MBA ma­­sih sedikit. Banyak perusahaan yang mengijon, seperti Multi Bintang, Citibank.

 

Dosen pembimbing bilang Indo­nesia belum ada investor management. Sekuritas baru bangun, tahun 1988 bursa baru bangkit zaman Pak Mar­zuki Usman. Perusahaan manajemen investasi baru mau berdiri.

 

Saya mulai bergabung perusahaan asing pada 1990. Reksa dana belum lahir, dan lahir 6 tahun kemudian pada 1978. Sekitar 12 tahun saya di perusahaan asing. Setelah itu diajak ke Bank Mandiri, yang mau me­­ngembangkan aspek investment banking. Saya bergabung pada 2002. 

Anda terlibat dari awal di perusahaan ini?

Saya ikut terlibat dalam pendirian perusahaan in­­vestasi dari nol.

 

Kenapa waktu itu tertarik terlibat?

Itu idealisme. Saya sudah kenyang di perusahaan asing, dan terlibat dalam pendirian sejak 1990. Ilmu saya cocok di Mandiri Securities. Apalagi Mandiri sebagai bank besar memiliki klien banyak. Saat itu masih gabung dengan Bank Mandiri, dan pada 2005, Mandiri In­­vestasi mulai jalan dan saya menjadi direktur utamanya.

 

Apa target Anda?

Saya lihat saat itu Mandiri belum punya produk yang terkait dengan manajemen investasi. Kami terlibat dan menyumbangkan varian-varian produk dari Bank Mandiri.

 

Nilai strategisnya?

Indonesia ini banyak pinjam keluar negeri untuk membangun infrastruktur. Indonesia sebenarnya bisa menggali potensi domestik dan masyarakat untuk ikut menopang proyek-proyek infrastruktur. Salah satunya lewat reksa dana.

 

Sekarang Anda bayangkan di perbankan ada hampir Rp2.000 triliun dana pihak ketiga. Na­mun, semua berjangka pendek. Padahal proyek infrastruktur bes­­ar dananya dan idealnya dibiayai dana jangka panjang. Reksa dana bisa menjadi sarana bagus, di situ beauty-nya.

 

Kedua, investasi di pasar modal, se­­perti main saham Bank Mandir atau Unilever, perlu dana besar. Paling tidak Rp50 juta. Itu belum dapat satu stock. Padahal ada kaidah jangan menaruh telur dalam satu keranjang.

 

Reksa dana itu bisa dimulai dengan Rp500.000, dan kita sudah mempu­nyai portofolio. Isinya macam-macam. The beauty of reksa dana adalah bisa menjadi sarana investor retail berpartisipasi di pasar modal. 

Bagaimana edukasi ke masyarakat?

Kenapa tidak punya reksa dana, ka­­rena nggak paham. Edukasi produk ini perlu sistem. Di TV, edukasi berturut-turut tiga kali belum tentu masuk kepala.

 

Tahun 1970-an saya masih kecil itu ada kampanye Tabanas. Saat itu orang masih menyimpan uang di bawah ban­tal. Sampai sekarang pun masih digalakkan, seperti kampanye Ayo Ke Bank Ayo Menabung. Perlu waktu hampir 10 tahun. Reksa dana harus melakukan hal itu jika ingin memasyarakat. Perlu waktu dan ongkos. 

Bagaimana kunci Anda membawa Mandiri Investasi jadi perusahaan terbesar ketiga?

Secara pengelolaan kami nomor tiga, meski dari umur masih belia. Kami baru lahir pada 2005, perusahaan yang lain sudah berumur di atas 20 tahun. Kita berusaha mengejar dan menyusul mereka.

 

Masyarakat investor masih deposit minded. Kalau saya ajak deposan main saham itu seperti dari tempat dingin ke tempat panas. Harus bertahap. Kami bikin produk yang mirip dengan deposito. Itu reksa dana proteksi.

 

Pokoknya aman, setiap bulan dapat income. Namun tetap ada edukasi, ini reksadana, ada risikonya, bisa naik-turun. Bisa saja pokoknya kena. Me­­reka mulai belajar, dan kalau sudah comfortable kami geser sedikit ke pa­­sar modal. Nanti kita pelajari lagi, ba­­gaimana obligasi, saham campuran. 

Apa yang membuat akselerasi sedemikian cepat?

Meet the need. Kami mencocokkan kebutuhan investor. Saat tren bunga turun, orang yang biasa hidup dengan pendapatan 12% setahun, sebulan 1%, dan sekarang turun jadi 6%, akan mencari yang lain tetapi risikonya tidak gede.

 

Kita bisa beli government bond. Aman. Suku bunganya 20%. Terus dikasih bunga reguler itu lebih bagus. Lebih penting lagi edukasinya. Ini perilakunya mirip deposito tapi bukan deposito. Ini bukan produk perbankan tetapi pasar modal yang ada risikonya.

 

Edukasi itu membuat kita tumbuh dan potensinya masih besar. Di In­­do­ne­sia, reksadanya baru 450.000 reke­ning. Bayangkan populasi Indonesia le­­bih dari 250 juta jiwa. Dapat 1% saja itu 2,5 juta. Saya tidak hanya berharap pada orang kaya tetapi semua orang. 

Bagaimana menghadapi krisis?

Kita mengalami krisis pada 2005 dan 2008. Saat itu kami punya dana kelolaan Rp24 triliun, dan dalam 2-3 bulan tinggal Rp240 miliar, tinggal 1%, dan yang 99% terbang.

 

Kami sudah siap, sebab sebelum masuk saya bilang, jangan bersenang–senang uang masuk kencang karena bisa juga keluar kencang. Harus siap, mesti punya instrumen liquid, governmen bond.

 

Meski kompetitor membatasi pe­­na­rikannya kurang dari 20%. Saya tidak terapkan itu. Berapa pun yang mau keluar kami layani. Dana cepat habis tetapi kepercayaan pada perusahaan menjadi tinggi.Begitu sampai di titik Rp20 miliar, bangkitnya cepat setiap menit double, terus Rp1,5 triliun, terus menjadi Rp3 triliun, jadi Rp7 triliun, Rp14 triliun double terus. Karena kepercayaan itu terjaga.

 

Kami juga memberitahukan bahwa kalau krisis jangan dicabut dananya. Selain rugi, krisis di suatu negara pas­ti ada recovery-nya. 

Bagaimana efek internal ketika krisis? PHK?

Kami bilang bukan cuma kita yang kena krisis. The whole industry. Saya bilang sama temen–teman, jaga ke­­percayaan pada kita.

 

Saat itu sekitar Februari–Maret, sam­pai pertengahan tahun. September sudah rebound lagi. Dan kami me­­mang beda dengan perusahaan sekuritas. Itu memang nature-nya perusahaan sekuritas. Kalau mereka lagi bug mereka hearing, kalau lagi meris mereka kurangi. Kami lebih stabil kan?. 

Kondisi sulit yang pernah Anda hadapi?

Pada 2005 itu saat paling sulit. Pe­­na­­­rikan lebih dari 20% aturannya bo­­leh kami setop. Saya nggak pakai itu, saya de­­sain bahwa siapa saja yang mau ambil 30% atau 40% pada hari itu kami siap.

 

Saya itu punya Rp25 triliun, dalam sehari insiden orang menebus Rp1,5 triliun, kalau bank pasti tutup. Saya mesti bayar Rp1,5 triliun per hari. Padahal, simpanan mereka bukan lagi berujud duit tetapi surat berharga.

 

Kami jual surat berharga ke mana-mana. Saya punya tenggat 7 hari terbayar sesuai aturan. Jadi setiap malam kami mikir ada cash nggak buat besok. 

Saat itu kan harga sedang tidak bagus?

Masih mending duit ada. Selama 12 tahun saya bekerja di perusahaan asing, saya belajar. Saya mengacu in­­ternational best practice. Kita harus jaga semaksimal mungkin supaya risikonya minimum. Kita juga tidak bisa obral. Kita jaga supaya kita masih selling market, selling pressure. Setiap hari Rp1,9 triliun. Tidak sehari itu lho, besok ada lagi dan terus. Tetap kami layani.

 

Dampak positifnya pada 2008. Kan krisis juga. Dana kelolanya justru naik dari Rp7 triliun ke Rp14 triliun. Padahal perusahaan lain turun. Jadi pemahaman itu sudah meningkat jauh. Di market itu dinamis. 

Keputusan yang dirasa paling penting?

Ekspansi ke kawasan regional. Ka­­mi melihat banyak investor luar negeri ingin masuk Indonesia. Kalau investor saham sudah banyak di bur­sa. Investor lain belum tertangani de­­ngan baik. Mereka mau masuk tetapi akan mempelajari dulu budayanya, struktur, pemasaran, hingga aspek per­lindungannya. Saya keliling ke Singapura, Hong Kong, dan untuk menawarkan passenger bagus.

 

Target ke depan?

Saya ingin teman-teman mulai berinvestasi, meski dengan jumlah kecil. Misalnya Rp100.000 sebulan. Nanti petiknya 5–10 tahun lagi.

 

Saya ingin membidik anak muda yang sebulan gajinya Rp5 juta atau Rp10 juta. Makin tinggi levelnya ma­­kin bagus. Mungkin anak muda yang gajinya Rp10 juta susah diajak berpi­­kir, karena mau senang-senang dulu.

 

Saya memang beberapa kali menjadi pembicara tamu tetapi mereka belum menghasilkan. Masih dikasih orang tuanya. Saya dekati komunitas, seperti komunitas jurnalis, hingga ibu-ibu arisan. 

Bagaimana dengan potensi Indonesia?

Indonesia masih sangat berpotensi. Tapi harus menciptakan pasar dengan edukasi dan sosialisasi. Bayangkan 1% itu sudah 2,5 juta orang.

 

Dana tadi, itu bisa untuk bangun jalan tol dengan membeli obligasi, untuk bangun pelabuhan, dan yang lainnya. Kita bisa mendukung infrastruktur. Dengan uang kecil kita bisa berpartisipasi. Bursa hidup kita juga hidup. Kalau investor domestik lebih bisa mendominasi, mereka keluar ekonomi kita tidak akan terganggu.

 

Obsesi Anda?

Kalau masih kuat fisik maupun jiwa saya akan terus berkarya, dan memberi manfaat buat masyarakat sekitar, termasuk melalui reksadana. Ada barang bagus, perlu disebarkan agar semakin bermanfaat buat orang banyak. Kalau dibilang bagian dari ibadah, kita dapat lebih.

 

Siapa orang di balik sukses Anda?

Kalau sukses itu pasti keluarga yang support, termasuk ibu yang mendoakan saya. Selain itu, saya tidak mungkin sendirian di manajemen ini. Kami semua saling mendukung untuk mencapai konsisi seperti sekarang ini.

 

Saya bilang kepada teman–teman, kita seperti lebah madu. Mereka pu­­nya lebah pekerja, lebah penjaga, le­­bah pejantan, hingga lebah ratu. Itu teamwork bagus. Bahu-membahu mengumpulkan madu dan propolis. Madu itu seumpama return dana kelolaan.

 

Madu itu barang yang bagus yang bermanfaat bukan hanya buat lebah­nya tetapi juga pihak lain, termasuk manusia. Lebah ambil bahan madu bukan dari sampah tapi dari sari bu­­nga. Jadi kita tidak main produk-produk sampah, kita carikan instrumen yang bagus, high return.

 

Propolis artinya benteng yang bagus buat karyawan di sini. Dia tinggal di rumah ini, nyaman kerja di sini. 

Pernah mendapatkan resistansi karyawan?

Saya tidak pernah mengalami hal itu. Saya bukan orang duarr-duarr [me­­ledak-ledak]. Saya lebih ke legalisme. Kita ini sama-sama kerja untuk mencapai tujuan. Reward and punisment sudah jelas. Misalnya kalau tidak perform kerja yaa tidak dapat bonus, ini punishment.

 

Nomor satu integritas. Kalau mengacu ke lebah, rela mati setelah menye­ngat tetapi integritas tetap terjaga. 

Cita–cita kecil?

Sejak SMP saya kagum dengan wartawan perang Vietnam. Saat ku­­liah saya terjun payung dan naik gunung.

 

BERITA FINANSIAL PILIHAN:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : News Editor
Editor : Sitta Husein
Sumber : Sekti Dewi Mayestika & Moh. Fatkhul Maskur
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper