BHP pita lebar tekan biaya perpajakan

Yeni H. Simanjuntak
Selasa, 28 Desember 2010 | 04:20 WIB
Bagikan

JAKARTA: Pola pemungutan Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi berbasis pita lebar dinilai akan mengurangi biaya perpajakan (cost of taxation) bagi operator telekomunikasi dan dalam jangka panjang akan mendorong operator untuk memperluas coverage jaringan.

Pengamat Perpajakan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Haula Rosdiana mengatakan pihaknya telah mengajukan perubahan kebijakan BHP berbasis ISR menjadi berbasis pita lebar sejak 2008 melalui penelitian yang dilakukannya.

Metode ISR memiliki banyak kelemahan, seperti terkait dengan pengawasan, cost of collection tinggi, ujarnya kepada Bisnis, hari ini.

Adapun bagi operator, kata dia, metode ISR menimbulkan biaya pajak (cost of taxation) yang tinggi terutama compliance cost. Menurut dia, kebijakan BHP berbasis pita lebar telah dikaji sehingga ada masa transisi selama 5 tahun.

Kebijakan tersebut, kata dia, pada akhirnya tidak akan merugikan, tetapi akan mendorong kompetisi yang adil dan sehat serta memaksimalkan penerimaan negara tanpa harus menimbulkan biaya perpajakan yang tinggi.

Pemerintah mengeluarkan kebijakan soal perubahan mekanisme pemungutan BHP frekuensi berbasis pita lebar yang berlaku mulai 15 Desember tahun ini.

Sebelumnya, pemungutan BHP Frekuensi ditetapkan berdasarkan Izin Stasiun Radio (ISR) pada setiap kanal di dalam Base Transceiver Station (BTS).

Dengan model BHP frekuensi berdasarkan ISR tersebut maka beban BHP bertambah jika operator mengembangkan jaringan, misalnya menambah BTS, karena beban BHP frekuensi yang harus dibayar dihitung berdasarkan utilisasi kanal di setiap BTS.

Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Indonesia (ATSI) Sarwoto Atmosutarno mengatakan perubahan kebijakan tersebut akan menjadi momentum bagi operator untuk terus meningkatkan jaringan.

"Pemerintah telah mengerti kondisi operator sehingga dengan perubahan kebijakan BHP tersebut akan menjadi momentum," ujarnya.

Dia berpendapat perolehan BHP frekuensi pada tahun ini akan sesuai dengan target, karena kebijakan tersebut baru berlaku pada 15 Desember tahun ini.

Frekuensi atau spektrum merupakan sumber daya yang produktif, karena merupakan input untuk memproduksi berbagai barang dan jasa, sehingga dikuasai oleh negara. Biaya Hak Pakai Penggunaan Frekuensi itu masuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Dalam kebijakan baru pemungutan BHP yang berbasis pada pita lebar tersebut, operator telekomunikasi tidak perlu lagi membayar setiap kali menambah BTS, tetapi dengan basis lebar pita frekuensi dikali sejumlah parameternya dan tim Balai Monitoring.

Pemerintah memberikan masa transisi selama 5 tahun ke depan dengan tetap mempertimbangkan perbedaan kemampuan operator. Operator non dominan masih akan menggunakan cara BHP sebelumnya dan secara bertahap berdasarkan lebar pita.

BHP pita yang menggantikan sistem perhitungan lama BHP frekuensi yang menggunakan formulasi ISR akan diprioritaskan untuk seluler dan fixed wireless access (FWA). Selanjutnya, untuk layanan broadcasting, digital broadcasting, dan layanan lainnya yang bersifat eksklusif.

Bagi operator kecil yang memiliki jaringan terbatas tentu akan terbebani dengan membayar berdasarkan pita lebar. Namun, hal tersebut akan memacu operator untuk terus mengembangkan coverage jaringan, karena telah membayar BHP.

Sebaliknya, bagi operator besar, maka kebijakan tersebut akan meringankan, karena operator pada saatnya akan membayar kewajiban dengan nilai yang sama selama menggunakan spektrum yang sama.(er)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Editor : Mursito
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper