Lambat terapkan WiMax, RI terancam rugi Rp138 triliun

News Editor
Rabu, 8 Desember 2010 | 07:03 WIB
Bagikan

JAKARTA : Indonesia berpotensi alami kerugian hingga Rp138 triliun per tahun apabila tidak segera menerapkan teknologi WiMax 16d dan 16e.

Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Sumitro Roestam mengungkapkan berdasarkan data empiris, maka tiap 10% peningkatan penetrasi broadband akan menumbuhkan GDP sebesar 1,38%.

Jadi kalau kita terlambat menerapkan Broadband selama 3-tahun, ini sama artinya kalau kita sudah kehilangan potensi sebesar 3x1,38%xGDP Indonesia [US$1 trilyun] atau Rp414 trilyun.

Negara tetangga seperti Malaysia sudah bisa menikmati layanan "True Broadband" itu dengan kecepatan yang sangat tinggi dari empat operator WiMax 16e, sehingga penetrasi broadband di negeri itu pada akhir 2010 ini mencapai 50% perumahan dan menjadi 90% pada 2011.

Pada tahun ini, rata-rata penduduk Malaysia memakai data sebesar 13 GB per bulan, dan tahun depan menurut Sumitro diproyeksikan akan mencapai rata-rata 50GB per bulan.

Sumitro memaparkan Indonesia sebenarnya juga mampu untuk memberikan layanan serupa dengan Malaysia , sehingga penetrasi broadband sebagai indikator kemajuan perekonomian nasional melalui dampak Broadband Economy-nya, seharusnya juga sudah dinkmati rakyat Indonesia .

Sementara itu, WiMax Forum mengungkapkan pemerintah Indonesia akan menanggung penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari penyelenggaraan Internet pita lebar nirkabel WiMax hingga Rp40 triliun per tahun.

Nilainya sangat fantastis untuk negara. Itu pun baru tergarap 30% dari spektrum yang ada, sedangkan masih ada 60 MHz lagi, ujar Direktur Regional WiMax Forum Sylvia Sumarlin kepada Bisnis hari ini.

Pemerintah memang baru melelang 30 MHz pita 2,3 GHz yang diperuntukkan WiMax. Sisanya kemungkinan besar akan ditender tahun depan seiring dengan masuknya teknologi WiMax mobile.

Pada lelang pita WiMax tahun lalu, pemerintah mengantongi biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi dan upfront fee sebesar Rp900 miliar. Nilai BHP sendiri adalah 30% dari total Rp900 miliar atau Rp300 miliar per tahun.

Padahal menurut UU Telekomunikasi 1999, lanjut Sylvia, BHP dipungut sebesar 0,75% dari gross revenue, sehingga revenue sendiri bisa mencapai Rp40 triliun.

Sementara itu, nilai bisnis penyediaan jasa Internet di Indonesia tahun ini diprediksi mencapai Rp1,6 triliun di mana konsumsi bandwidth memberikan kontribusi pengeluaran hingga 80%.

Sylvia yang juga mantan Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) itu mengatakan apabila dilihat dari konsumsi bandwidth internasional, maka terdapat 5 provider besar yang memegang pangsa pasar lebih dari 80% penyelenggaraan Internet yang mengkonsumsi hingga 50Gbps dalam setahun.

Kalau 1 Mbps sekarang harga ecerannya rata adalah Rp4 juta yang dipakai oleh 4 client, maka nilai bisnis penyediaan bandwidth internasional mencapai Rp800 miliar, ujar mantan Ketua Kompartemen Informatika Kamar Dagang dan Industri (Kadin) tersebut.(api)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : News Editor
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper